Saturday, February 25, 2012

Cinta Suci Abu Bakar Ash-Shiddiq RA


Saudaraku sekalian. Dalam kesempatan ini sekali lagi saya mengajak Anda untuk mengulik sosok pribadi yang mulia dan penuh cinta kasih. Dialah sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Yang dari awal kehidupannya memang telah mencirikan pribadi yang baik dalam kehidupannya. Seperti pernyataannya ketika ia di tanya apakah pernah meminum khomr (minuman keras); ”Apakah engkau pernah meminum khomr di masa jahiliyah?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab: “A’udzubillah (aku berlindung kepada Allah)”. Kemudian ia di tanya lagi, “Kenapa?”. Abu Bakar menjawab: “Aku menjaga dan memelihara muru’ah-ku (kehormatanku), apabila aku minum khomr, maka hal itu akan menghilangkan kehormatanku.”
Nah, untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelurusan berikut ini:

1. Sosok dan karakter Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abdullah ibn Abi Quhafah ibn Amir ibn Ka`ab, lahir di Makkah dan berasal dari kabilah Bani Tamim. Ia dikenal dengan nama Abu Bakar dan mendapat julukan Ash-Shiddiq. Ia juga di kenal dengan nama Atiq karena mendapat jaminan bebas dari api Neraka. Dalam satu hadits Rasulullah SAW bersabda;

Dari ‘Aisyah RA, katanya: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang suka melihat orang yang dibebaskan (‘atiiq) dari api Neraka, maka lihatlah Abu Bakar” ( HR. Al-Hakim)

Abdullah Ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang bertubuh kurus, berkulit putih. ‘Aisyah putrinya yang juga istri dari Rasulullah SAW menerangkan karakter ayahnya; “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu turun dari ping-gangnya), wajahnya selalu berkeringat, hitam warna matanya, berkening lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam.”

2. Persabatan sejati

Muhammad ibn Abdullah (Rasulullah) dan Abdullah Ibn Abi Quhafah (Abu Bakar Ash-Shiddiq) telah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan jahiliyah, di antara orang-orang yang sangat gemar menembangkan syair-syair sesat, di antara orang-orang bodoh yang telah menyembah tuhan berhala, bahkan memperjualbelikan tuhan-tuhan mereka itu.

Karena proses alam telah mengaturnya, maka kedua bocah ini pun akhirnya tumbuh dewasa. Meski hidup di tengah tradisi jahiliyah, namun hati mereka tidak serta merta menerima hal itu. Allah SWT menjaga hati keduanya dari berbagai dampak buruk kejahiliyahan bangsa Quraisy, sehingga jiwa mereka jernih, tak ternodai kemusyrikkan dan kejahatan.

Seperti kebanyakan penduduk Makkah, mereka berdua memiliki keahlian mengembala dan berniaga. Suatu ketika, Abdullah ibn Abi Quhafah ikut dalam kafilah niaga. Di tengah perjalanan, kafilah menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Abdullah memilih berteduh di bawah pohon. Disana, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat rembulan yang meninggalkan langit dan mendekati bumi, kemudian pecah dan kepingan-kepingannya tersebar di jalan-jalan kota Makkah. Setelah itu, kepingan-kepingan tersebut menyatu seperti sedia kala dan kembali ke langit. Mimpi menakjubkan itu membuat Abdullah ibn Abi Quhafah penasaran. Ia berusaha menaksir makna mimpi itu. Ia tak menyadari jika mimpi itu sesungguhnya adalah kabar gembira.

Abu Bakar sangat berbahagia ketika fajar Islam telah terbit di kota Makkah saat Allah SWT mengangkat sahabatnya Muhammad sebagai Rasul yang mengarahkan manusia kepada kebenaran dan imam. Mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah SWT dan meninggalkan berhala-berhala sembahan mereka itu. Tujuan dari dakwah Rasulullah SAW adalah mengangkat tinggi martabat dan menghargai akal manusia. Namun, penduduk Makkah justru menolak. Bisikan syaitan masih terlalu nyaring di telinga mereka.

Setelah Rasulullah SAW menyampaikan kerasulannya secara terbuka di bukit Shafa, Abu Bakar lebih berani membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Ada orang yang tersentuh dengan bacaan Abu Bakar itu, hingga kemudian masuk Islam. Ada pula yang tidak suka, kemudian marah dan memukulnya. Abu Bakar pingsan oleh pukulan itu. Ia telah siap dengan segala kemungkinan dan tak gentar untuk selalu membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Saat siuman, yang pertama Abu Bakar katakan adalah, “Bagaimana keadaan Rasulullah SAW”. Abu Bakar akan menolak makanan dan minuman yang ditawarkan kepadanya, sampai ia telah yakin bahwa Rasulullah baik-baik saja. Inilah persahabatan sejati yang di bangun atas dasar cinta dan pengorbanan yang tulus.

Begitu pun ketika Rasulullah SAW menyatakan tentang perjalanan Isra` mi`raj nya dari atas bukit Shafa, banyaklah orang-orang yang menjadi bimbang dan ragu dengan pengakuan Rasulullah SAW tersebut, termasuk kalangan umat Islam. Dan mereka yang ragu-ragu ini, akhirnya mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang saat itu tidak hadir mendengar pengakuan tersebut. Sambil tersenyum, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menanggapi, “Jika Muhammad yang mengatakan, berarti benar. Aku percaya pada kenabiannya dan wahyu yang telah diturunkan kepada-nya. Dan, aku juga percaya pada apa yang ia katakan hari ini!”

3. Hijrah bersama Rasulullah SAW atas dasar cinta

Ketika peristiwa Hijrah, saat Rasulullah SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Gelap menyelimuti Makkah. Mencekam. Malam itu orang-orang kafir berkonspirasi untuk membunuh Rasulullah SAW. Sebelum semuanya terjadi, Allah SWT telah lebih dulu mengabarkan rencan busuk itu kepada Rasulullah SAW, dan memerintahkan segera hijrah.

Setelah Baiat ‘Aqabah kedua, kaum Muslim Quraisy mulai banyak yang berhijrah. Di antara yang lebih dulu berangkat adalah beberapa sepupu Nabi, sahabatnya Utsman dan Umar. Hampir semua sahabat ter-dekat Rasulullah telah meninggalkan Makkah kecuali Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar sebenarnya telah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat hijrah, namun beliau berkata: “Tidak usah terburu-buru berangkat, karena mungkin Allah SWT akan mem-berimu seorang teman,” Abu Bakar mengerti bahwa ia harus menunggu Rasulullah SAW.

Di pihak Quraisy, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah. Jibril datang kepada Rasulullah dan memberitahukan apa yang harus dilakukan. Waktu itu sore hari, Rasulullah langsung pergi ke rumah Abu Bakar – waktu kunjungan yang tidak seperti biasanya – beliau biasa berkunjung ke rumah Abu Bakar pada sore hari. Rasulullah berujar, “Allah SWT telah mengizinkan aku untuk meninggalkan kota ini dan berhijrah,”

“Bersama denganku?” Tanya Abu Bakar. “Ya, bersamamu.” Jawab Rasulullah.

Setelah mereka selesai membuat rencana, Rasulullah kembali ke rumahnya dan memberitahu Ali tentang keberangkatannya ke Yastrib. Beliau menyuruh Ali untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua barang-barang yang dititipkan di rumahnya selesai dikembalikan. Rasulullah SAW senantiasa dikenal sebagai Al-Amin, sehingga masih banyak dipercaya orang-orang kafir untuk menjaga harta benda mereka, karena tidak me-nemukan orang lain yang dapat dipercaya.

Para pemuda Quraisy yang dipilih untuk membunuh Rasulullah telah sepakat untuk bertemu di luar gerbang rumah beliau saat malam tiba. Namun ketika mereka sedang menunggu sampai jumlah mereka lengkap, mereka mendengar suara wanita dari dalam rumah, hal itu membuat mereka berpikir ulang untuk masuk ke dalam rumah. Jika mereka me-nerobos masuk, maka nama mereka akan tercemar selamanya di kalangan bangsa Arab karena telah melanggar privasi kaum wanita. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menunggu sampai korbannya keluar rumah. Seperti biasanya, ia akan keluar di waktu subuh atau sebelumnya.

Rasulullah SAW dan Ali mengetahui kehadiran mereka. Rasulullah mengambil selimut yang biasa ia kenakan untuk tidur dan memberikannya kepada Ali. Ali kemudian tidur di tempat tidur Rasulullah SAW meng-gantikannya. Kemudian Rasulullah mulai membacakan surah yang diberi nama dengan kalimat pembukanya, Yasin. Ketika sampai pada kalimat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding pula, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yaasiin [36] ayat 9), beliau keluar dari rumah. Allah menutup pandangan para pemuda Quraisy itu hingga mereka tidak bisa melihat saat Rasulullah SAW keluar dari rumahnya.

Malam sudah hampir berlalu dan fajar akan menyingsing. Rasulullah SAW lantas bertemu dengan Abu Bakar. Abu Bakar berpamitan kepada istrinya; Ummu Ruman, serta anak-anaknya; Abdullah, Asma dan A`isyah, lalu tanpa membuang waktu mereka keluar dari rumah Abu Bakar melalui jendela belakang rumahnya untuk segera berlalu menuju bukit Tsur kemudian bersembunyi di dalam sebuah gua. Mereka menunggangi unta menuju sebuah gua di gunung Tsawr agak selatan, yang sejalan di jalur ke arah Yaman.

‘Amir Ibn Fuhayra – pengembala yang telah dibeli Abu Bakar sebagai budak dan sudah bebas serta ditugasi mengembala domba-dombanya – mengikuti mereka di belakang bersama gembalanya untuk menghilangkan jejak mereka.

Dari Hasan Al-Bishri; “Sesungguhnya malam itu Abu Bakar RA berangkat bersama Nabi SAW ke gua. Kadang ia berjalan di depan beliau SAW kadang-kadang dibelakangnya. Beliau SAW bertanya; ‘Kalau aku yang teringat, aku yang mencari jalan dan harus di depan, tetapi kalau aku tidak ingat, akupun harus dibelakangmu”

Beliau SAW bersabda; “Andaikan terjadi sesuatu, apakah engkau lebih senang dibunuh untuk melindungi aku?”

“Benar.” Jawab Abu Bakar RA “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan haq!”

Dan ketika mereka sampai di gua, Abu Bakar berkata; “Ya Rasulullah, tunggu dulu, kubersihkan dulu gua ini untukmu.” Ia pun lantas membersihkan dengan meraba-rabakan tangannya. Kalau ia melihat ada batu, ia menyobek pakaiannya untuk menutupi batu itu, sampai habis pakaiannya meski ternyata masih ada batu yang terlihat. Kemudian ia meletakkan tumitnya untuk menutupi batu itu agar tidak menyakiti Rasulullah SAW.

Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tapi wajah Abu Bakar pucat pasi. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar; “Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”.

Rasulullah SAW memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar; “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.

Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat disampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Yastrib jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad, mereka membunuh Muhammad.

Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia men-cintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.

Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada lagi yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.

Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat per-lakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji meng-ganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.

Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah SAW, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular men-desis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasihnya itu.

Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara gua.

“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” Potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.

“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?” Tanya Rasulullah lagi kepada sahabatnya itu.

“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”

Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”

“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” Jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air mata-nya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.

Saat itu, air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah (ikatan persaudaraan).

“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah SWT sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa lalu meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi Muhammad SAW mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha Suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.

“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” Nyaring kata hati Abu Bakar kemudian.

Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang ber-istirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah SAW menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.

Pada malam berikutnya, Abdullah datang ke gua bersama saudara perempuannya Asma membawakan makanan. Mereka melaporkan bahwa Quraisy menawarkan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya kembali ke Makkah.

Pada hari ketiga, para pencari melakukan pencarian di bukit Tsawr. Mereka memanjat ke arah gua. Rasulullah yang berada di dalam gua ber-sama Abu Bakar menoleh ke arah Abu Bakar, “Jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah [9] ayat 40), namun saat para pencari berada di muka gua, mereka sepakat untuk tidak mencari ke dalam karena menurut mereka Rasulullah SAW tidak mungkin berada di dalamnya. Ketika para pencari telah pergi, Rasulullah dan Abu Bakar pergi ke mulut gua. Di sana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk, ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada, dan di celah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Bahkan di tempat orang yang ke-mungkinan melangkah ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan akan mengerami telur telurnya.

Ketika itu Asma dan Abdullah telah kembali ke gua, dengan tidak mengganggu hewan-hewan yang telah melindungi mereka dari para pencari tersebut, Rasulullah dan Abu Bakar lalu meninggalkan gua. Kala itu Rasulullah SAW menunggangi unta kesayangannya Qashwa untuk menuju Yastrib (Madinah).

*****

Sungguh, luarbiasa sahabat Rasulullah SAW yang satu ini. Sulit untuk dicari tandingannya dan rumit pula untuk merangkai kata indah yang bisa memujinya. Sehingga yang tertinggal adalah rasa kagum dan penghargaan yang tinggi baginya. Tentang betapa sejatinya sikap persahabatan dan persaudaraanya.Tentang betapa murni kecintaannya kepada kekasih Allah SWT, Rasulullah Muhamad SAW. Yang dapat meluluhkan hati yang keras dan membuat mata ini berderai airnya di atas pipi kanan dan kiriku. O.. andaikan daku bisa seperti beliau.

Rasulullah juga pernah bersabda; “Sekiranya saya boleh mengambil seseorang untuk dijadikan (khalil) teman dekat; maka aku akan memilih Abu Bakar, tapi Abu Bakar Ash Shiddiq adalah saudaraku dan sahabatku” (HR. Al-Bukhari)

Yogyakarta, 25 Februari 2012

Mashudi Antoro (Oedi`)

[Cuplikan dari buku; "Ratapan Hidup dalam Kehidupan", karya: Mashudi Antoro]

No comments:

Post a Comment