Monday, February 27, 2012

Sepotong Kisah di Nunukan

Ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Tapi yang membuat kabupaten Nunukan menarik adalah letak geografisnya. Nunukan merupakan sebuah pulau kecil yang terpisah dari pulau utama Kalimantan namun masuk dalam provinsi Kalimantan Timur. Untuk menuju ke sana, saya naik pesawat Sriwijaya Air dari Jakarta sampai Balikpapan. Setelah itu, dilanjutkan dengan Susi Air dari Balikpapan sampai Tarakan, kemudian Tarakan sampai Nunukan—semuanya di hari yang sama.

Pelabuhan
Pelabuhan

Tidak banyak yang bisa dilihat di kota Nunukan sendiri (sebagai informasi, nama ibukota kabupaten dan kabupatennya sama). Kebanyakan hanya toko-toko kecil sepi dan rumah penduduk. Namun, ketika menuju komplek gedung-gedung pemerintahannya, mereka boleh bangga. Semua gedung pemerintahan di Nunukan, seperti kantor dinas atau bupati, rata-rata seperti “istana”. Gedungnya besar dan megah dengan taman luas. Buat saya, rasanya aneh melihat pemandangan komplek gedung mewah ini di atas bukit yang sepi dengan kota berpenduduk jarang (sekitar hanya sepuluh jiwa per kilometer persegi).

Menuju Sebuku
Menuju Sebuku

Saat itu, tujuan saya ke Nunukan adalah untuk melakukan assessment sosial di wilayah hutan alam. Jadi, esok harinya perjalanan saya lanjutkan dengan perahu motor cepat selama 1,5 jam menuju Desa Sebuku. Paginya saya sempatkan mampir ke mini market samping hotel. Cemilan kemasan buatan Malaysia memenuhi rak. Semua tampak menggiurkan dan enak. Makanan-makanan ini pun dijual di warung-warung kecil pelabuhan Nunukan. Pelabuhan boleh jadi tempat paling trendi di Nunukan. Malam minggu pelabuhan penuh orang jualan, duduk-duduk melihat kapal antar propinsi dan antar negara berlabuh.

Desa Sebuku
Kampung di Dekat Pelabuhan

Oke, kembali ke tujuan saya ke Nunukan. Kenapa daerah itu yang dipilih? Sederhana. Alasannya adalah Gajah Nunukan atau pygmy elephant menetap di wilayah hutan alam yang saya datangi. Dilihat dari DNA, Gajah Nunukan berbeda dengan Gajah Sumatera, Afrika maupun Thailand. Belum ada teori pasti kenapa ada gajah di Kalimantan. Menurut catatan sejarah, gajah-gajah ini bisa jadi didatangkan sebagai upeti atau hadiah untuk raja pada zaman dahulu. Secara fisik, Gajah Nunukan lebih kecil dari Gajah Sumatera, berambut dan bertelinga kurang lebar.

Perjalanan perahu motor cepat ke Desa Sebuku terasa cepat, melewati perkebunan sawit di kanan dan kiri, hutan sekunder dan hutan bakau. Seorang kolega saya melihat pesut (mamalia air), sayangnya saya terlalu sibuk memotret hutan waktu itu. Sampai di Desa Sebuku, saya kaget mendapati perkebunan sawit sangat luas (sampai lima hektar ke dalam hutan). Saya deg-degan. Isu inilah yang akan saya tanyakan pada saat wawancara dengan masyarakat lokal di sana.

Saya menginap di kamp perusahaan pengelola hutan alam. Tempatnya bersih dan rapi. Esok pagi seusai sarapan saya menuju Desa Tabuh Lestari dan Samaenre. Mulai dengan naik perahu motor cepat selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan ojek. Ini mungkin ojek termahal yang pernah saya gunakan. Rp70.000 sekali jalan. Bukan karena jauh, tapi bensin langka. Di Nunukan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) buka hanya beberapa kali sebulan, kadang tidak buka sama sekali. Akhirnya, bensin dijual ilegal oleh masyarakat dengan harga Rp18.000 per botol minuman ukuran sedang, sekitar 600cc.

Hutan yang Digarap
Hutan yang Digarap

Sampai di desa, saya melakukan wawancara dengan beberapa tokoh desa dan mendapati fakta bahwa beberapa perusahaan sawit dan batu bara beroperasi di sekitar desa mereka. Pemerintah daerah juga sudah mengeluarkan cetak biru kota mandiri di dekat situ lengkap dengan SPBU, pusat perbelanjaan kecil, komplek perumahan, sekolah, dan sebagainya. Sungguh saya tak habis pikir. Selama ini bensin dijual ilegal di Nunukan karena langka, dan pemerintah mau buka lahan untuk kota mandiri dengan SPBU? Belum lagi bahan bakar perahu motor cepat yang harus dikeluarkan dari tengah kota ke daerah Desa Sebuku.

Sedih melihat hal-hal seperti ini harus terjadi di Indonesia, terutama di daerah perbatasan. Banyak kebun sawit milik masyarakat kita yang kemudian dijual ke Malaysia. Kesadaran mereka untuk menjaga hutan dan wilayah sekitar bisa dibilang kecil. Salah siapa?
http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/ESWARrvAgb8/

No comments:

Post a Comment